Halaman

Senin, 04 Agustus 2014

mE Time

Me Time? Dulu aku sering sekali menghabiskan waktu seorang diri untuk merasa, berpikir, dan bergulat dengan diri sendiri. Pagi-pagi sekali datang ke Candi Plaosan Lor untuk menikmati matahri terbit sambil sarapan roti yang sudah dibeli pada malam sebelumnya, atau pulang sore menuju Candi Sambisari, atau duduk manis di suatu tempat makan, atau keliling Jogja dengan Onita (motorku). Banyak sekali momen yang bisa kubuat pada saat di Jogja. Namun, entahlah. Saat aku di Lampung ini aku kehilangan semangat untuk melakukan me time. Tidak ada semangat, tidak ada tujuan menarik. Bosan sudah aku tour de cafe. It's spends a lot of money, you know... Haah.. Pada akhirnya aku mencoba untuk kembali menulis. Menulis dapat membuatku sedikit lebih tenang, setidaknya untuk saat ini. Tanggal 4 Agustus 2014 Senin ini sudah mulai mengajar. Entah mengapa aku kehilangan passion mengajar. Aku semacam lelah, lelah psikologis. Antara ingin pergi atau bertahan. Haah. Masih saja ada yang mengganjal. Apakah harus bersahabat dengan perubahan atau harus membencinya? Apakah ada suatu keharusan? Bagaimana baiknya supaya aku bisa enjoy di lingkungan baru. Situasi laknat ini membuatku semakin tidak kuasa untuk melepas dorongan untuk melakukan agresi verbal. Sudah tampak bukan? Haah. Lagi-lagi menghela napas. Mungkin aku butuh katarsis. Mungkin aku butuh psikolog? Bagaimanapun juga me time itu perlu dan aku belum pernah melakukan itu. Mungkin aku perlu waktu menyendiri. Tempat seperti apa di Bandar Lampung yang sepi dan aku dapat merasa aman? Setelah dipikir-pikir, mungkin aku akan ke gereja pada sore hari. Aku butuh sedikit waktu untuk berdiam diri dan mengevaluasi diri. Entah mengapa, aku merasa sungkan berefleksi di rumah atau di mana saja, seperti yang kulakukan dulu. I think I repress my feeling. Seperti di beberapa bagian 'entah mengapa', sebenarnya aku tahu jawaban dari pertanyaan atau pernyataan itu. Yah, itulah defense mechanism yang dominan padaku. .... dan aku sedang merasa tidak sehat. Aku akan merancang mind map terlebih dahulu dan memutuskan untuk berefleksi untuk menemukan akar masalah yang benar-benar jelas agar dapat menyelesaikan masalah ini secepatnya. Kemudian, aku akan menemukan motivasi yang tertimbun dan menjalankan pekerjaan sesuai passionku. Yes, yess....!!!! I must do the best I can. Masa krisis ini akan berlalu secepat aku dapat menyelesaikan masalahku. Amin.

Think Hard

Beberapa hari menjelang kehadiran dunia nyata di hari Senin, aku banyak sekali berpikir. Mulai dari ingin jalan-jalan ke luar negeri, membeli tanah, hingga membuka usaha sendiri. Banyak sekali hal-hal itu memasuki pikiran yang pada akhrinya membuatku berpikir keras. Bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk membeli tanah, pergi ke Thailand, dan membeli mesin jahit untuk memulai usaha kaos kreasi.

Okay, let me think.
Pertama, sisihkan uang untuk jalan-jalan dan tanah terlebih dahulu. Sisihkan pula uang untuk Mama dan uang jajanku. Sisanya untuk keperluan mendadak. Sedikit demi sedikit tidak apa, yang lebih penting adalah terkumpul. Entah kapan ini semua tercukupi, yang terpenting adalah apabila semua hal itu dapat terpenuhi. Amin. Kedua, belajar photoshop. Ketiga, melihat situasi dan kondisi. Adakah kesempatan bagiku untuk melebarkan sayap menuju aktualisasi diri sepenuhnya? Keempat, di setiap 3 point tersebut disisipkan suatu rasa yang biasa aku sebut, “Enjoy.”

Kamis, 29 Agustus 2013

Candu

Menolak kesenangan itu membutuhkan kerja keras.
Menaklukan id serumit membiarkan superego menekan semakin dalam.
Bukan berarti tidak bisa.
Bukan berarti tidak mungkin.

Hanya butuh alasan mengapa itu harus terjadi.


…………………………………………………………………………….........................................….

Titik-titik panjang akan berakhir dengan tanda tanya
Dimulai dengan keraguan yang pada akhirnya menantikan suatu kepastian
 Bermula pada suatu hari di mana dua insan manusia tergiur oleh cinta duniawi yang begitu memerdekakan. Mereka merajut kasih sejak pagi hingga malam. Membuai asa, melayangkan imajinasi yang tak terkira, lalu tertidur lelap dalam mimpi yang begitu membahagiakan. Mereka sedang menikmati cinta. Mereka ketagihan untuk selalu merasakan cinta.
Cinta itu candu. Cinta mengajak kamu untuk merasakannya untuk pertama kali, lalu ia membiarkanmu terus menambah dosisnya. Ketika kamu berhenti sejenak untuk merasakannya, kamu akan sakau. Kamu membutuhkan cinta seperti kamu membutuhkan makanan. Terlalu penting untuk diabaikan.
 Dua insan itu mabuk. Mabuk cinta. Mereka berjalan sempoyongan hingga tak dapat melihat bahwa mereka sudah terlalu sering menabrak orang. Orang-orang menatap mereka dengan pandangan sinis, namun mereka tidak peduli. Mereka terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri. Mereka sudah kecanduan. Lupa menapak bumi karena mereka sudah terbiasa dan terlalu bahagia melayang di nirwana.

Senin, 29 April 2013

Curhat

Hari sudah malam, aku masih berkutat dengan skripsi. Pikiran ini penuh sekali rasanya. Apa yang terjadi saya harus bertahan. Hal ini masih bisa kuatasi. Sebenarnya, skripsiku ini sangat menarik dan menantang namun tuntutan orang tua begitu jelas sehingga mau tidak mau aku harus berlari secepat mungkin. Pengerjaan skripsi harus dikebut, kerja cepat, lembur, sedikit saja berleha-leha.
Sering kali pikiranku tidak hanya berisi tentang skripsi. Ada saja distraksi yang lewat di pikiran. Ada saja hal-hal yang ingin segera kulakukan saat ini juga padahal waktu tidak memungkinkan. Bermacam-macam hal yang mengakibatkan suasana hati tertentu ini harus diseimbangkan. Aku tidak mau tenggelam pada perasaan sedih ketika sedang mengingat suatu peristiwa lalu mengganggu proses kerjaku. Sebisa mungkin kuatasi suasana hati yang labil agar aku tetap bisa beraktivitas dengan penuh. Huuffft.
Ada kata yang tidak bisa keluar bebas memang sangat meresahkan. Tapi, terkadang hal seperti itulah yang harus terjadi. Ketika itu terjadi, aku tetap harus berfokus pada hal lain yang lebih penting dan signifikan bagiku.
Meski sulit, pasti ada jalan keluar. Aku percaya itu.

Curhatku sampai di sini saja ya. Doakan apa yang aku kuusahakan bisa diwujudkan.

(Kata yang tak terucap lagi telah ditulis pada secarik kertas dan tintanya meresap hingga tidak tampak lagi di permukaan.)

Minggu, 07 April 2013

ROK IBU

Setiap pagi, Dela berjalan melewati jejeran toko-toko di Jalan Daha untuk mencapai sekolahnya. Toko-toko di sepanjang jalan ini sangat bermacam-macam. Ada toko elektronik, toko baju, supermarket, toko kaset, toko yang menjual ikat pinggang, toko jam, toko obat, apotek, dan masih banyak lagi macam-macam toko. Selain toko yang menjual barang-barang, ada juga yang menjual makanan. Dulu, Dela pernah sekali makan mi ayam oriental di suatu rumah makan yang pelayanannya tidak memuaskan. Dela harus menunggu lama sekali untuk menikmati semangkuk mi ayam oriental itu. Maklum bagi Dela jika mi ayam yang diidam-idamkannya itu membutuhkan proses masak yang lama karena penjual mi oriental ini dalah seorang ibu tua yang mulai renta. Ibu tua penjual mi ayam itu sekarang sedang menyapu ruangan warung makannya yang luas. 

Selain mi ayam, ada juga yang menjual rujak cingur. Ehm, Dela tidak pernah suka makan rujak cingur sehingga ia cepat-cepat pergi melintasi warung rujak cingur itu. Tidak jauh dari warung rujak cingur, ada suatu warung makan kecil yang sangat senang Dela lewati. Warung makan rawon. Dela suka sekali menghirup aroma rawon yang baru saja dimasak di warung itu. Baunya sampai keluar ruangan dan Dela menghentikan langkahnya. Dela memejamkan matanya dan segera menghirup wangi keluwek yang amat pekat. Dela tersenyum. “Suatu hari aku ingin ibu memasakkannya untukku,“ kata Dela dalam hati. Sudah cukup bagi Dela untuk menikmati pagi hari yang cerah. Kemudian ia berlari menuju sekolahannya yang berada tidak jauh dari warung rawon. Sesaat ia berhenti dan menengok ke arah kiri, ke arah Stasiun Kediri. “Suatu saat nanti aku akan pergi jauh dengan kereta itu,” kata Dela dalam hati. 

Dela berlari, menyeberang jalan, berjalan belok kanan, kemudian berlari kembali hingga mencapai pintu pagar SD-nya. Dela tidak pernah terlambat karena ia bangun pagi-pagi benar, saat matahari belum muncul. Dela berangkat sekolah berbarengan dengan ibunya yang bekerja di sebuah toko kelontong di Pasar Tempel. Sejak ayah Dela meninggal karena kecelakaan, ibu Dela bekerja keras tiap hari. Dela dan ibunya selalu berpisah di perempatan Baluwerti. Dela menyeberang jalan menuju jalan Daha, sedangkan ibunya berjalan belok kiri, ke arah timur menuju Pasar Tempel. Begitulah yang terjadi tiap pagi di hari Senin hingga Sabtu. Apabila hari Minggu tiba, mereka berkunjung ke rumah Kakung di Gogorante. 

Dela, Yuli, dan Acing selalu berjalan kaki untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka bertiga bergandengan tangan sambil tertawa cekikikan. Mereka sedang membicarakan Bu Ety, guru Bahasa Indonesia yang tadi siang bersin-bersin tiada henti. Bu Ety selalu bergaya lucu ketika bersin. Ada gaya kaki kanan terangkat satu, gaya bungkuk, hingga bersin diakhiri dengan suara melengking tinggi yang membuat Bu Ety terengah-engah. Setelah itu mereka bernyanyi Bintang Kejora yang baru saja diajari oleh Pak Gun, guru kesenian mereka. Dela merasa sangat senang ketika bermain kelitik-kelitikan. Mereka tertawa kegelian lalu berlari sambil menghindari lalu lalang orang-orang. Dela begitu bersemangat mengejar Yuli dan Acing hingga ia menatap sesuatu di balik kaca etalase suatu toko pakaian. Rok berwarna merah marun yang sederhana dan tampak terbuat dari bahan yang sangat lembut. Dela berhenti dan menatap kagum rok itu dengan mata berbinar-binar. Dela terdiam dan menatap rok itu sangat lama hingga Yuli memanggilnya dari kejauhan. Dela terkesiap kemudian berlari mengejar Yuli dan Acing. Kakinya melangkah ke depan, matanya tertuju pada Acing dan Yuli tetapi pikirannya masih tertambat di depan kaca etalase toko itu. 
*** 
“Bu, besok kita nggak usah ke rumah Kakung, ya. Dela pengin jalan-jalan,” kata Dela pada ibunya yang baru pulang kerja. “Memang mau jalan-jalan ke mana?” tanya ibu sambil melepas sepatu. “Jalan Daha,” jawab Dela mantap. “Lah, kamu kan setiap hari lewat situ kalau mau ke sekolah.” Ibu Dela kebingungan atas permintaan anak satu-satunya itu. “Ada yang mau Dela tunjukkin ke Ibu, deh,” tukas Dela sambil tersenyum. Dela tidak sabar menantikan esok menjelang hingga tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya masih tertambat pada rok merah marun yang dipajang di etalase toko di Jalan Daha itu. ‘Aku pasti cantik kalau pakai rok itu’, pikir Dela sesaat sebelum tertidur lelap. 
 *** 
Dela dan ibunya pergi ke Jalan Daha saat toko-toko belum ada yang buka. Dela terus merajuk agar ibunya lekas mandi dan pergi ke toko itu. Ibu Dela sangat bingung dengan tingkah laku anaknya yang aneh. Dela berlari dengan semangat sambil menggandeng tangan ibunya. Sampailah mereka di depan etalase kaca suatu toko pakaian. “Bu, aku mau itu,” kata Dela dengan senyum sumringahnya. Ibu Dela terdiam sambil menatap anaknya lekat-lekat. “Iya, nanti ya,” kata Ibu Dela pelan. “Sekarang, Bu. Besok udah ga ada lagi,” rengek Dela. “Pasti masih ada, kok. Nanti ya,” jelas Ibu Dela. “Sekarang, Bu. Sekaraaaaang!!!” rengek Dela. Dela terus merengek. Dela duduk di trotoar jalan sambil menangis dan menjerit ingin dibelikan roknya sekarang. Ibu Dela memandangi Dela dalam diam. Ibu Dela menunggu anaknya berhenti menangis akibat kecapaian. Setelah itu, Ibu Dela duduk di sebelah Dela dan berkata, “Tokonya masih tutup. Kita pulang dulu, tunggu tokonya buka.” Dela menurut. Mereka pulang berjalan kaki. Dela sudah tidak menangis lagi, hanya sesenggukan dan sesekali menarik ingusnya. 

Setelah sampai rumah, Dela bermain dengan teman sebayanya dan pulang ketika merasa lapar. Setelah makan kenyang, Dela tidur siang. Dela bangun dari tidur siang dan menyadari bahwa hari telah sore dan ia melupakan sesuatu. “Bu, belikan Dela rok tadi, Bu.” Ibu Dela terkejut. ‘Dela masih ingat rupanya,’ pikir Ibu Dela. “Tokonya sudah tutup kalau jam segini,” kata Ibu Dela. Dela merasa kecewa. Ibu Dela tampak sedih melihat wajah puterinya merengut. Setiap Dela melewati toko yang memajang rok idamannya, Dela kembali sedih. Dela sangat menginginkan memakai rok merah marun itu. Dela ingin merasa menjadi anak perempuan cantik seperti yang ada di televisi. Ibu selalu pulang sore hari sehingga tidak bisa membelikan Dela rok itu. Dela harus bersabar hingga hari Minggu tiba dan Ibu bisa membelikan Dela rok itu. Suatu siang di hari Kamis, Dela tercengang ketika tidak lagi mendapati rok merah marun kesukaannya itu di etalase toko. Dela sangat sedih begitu menyadari bahwa dia tidak akan memakai rok cantik itu. Dela berjalan meninggalkan toko itu dengan berat hati. Hancur sudah harapannya. 
 *** 
 “Bu, roknya sudah nggak ada lagi,” kata Dela sedih. Ibu Dela tidak berkata apa-apa. Ia masuk ke dalam kamar dan membawa sesuatu. “Ini coba dipakai,” kata Ibu Dela sambil menyodorkan sesuatu. “Bu, ini bagus sekali. Aku suka. Ini lebih bagus dari yang ada di toko,” seru Dela. Dela sangat menyukai rok barunya. Mesi berbeda dengan yang ada di toko, rok ini sangat bagus. Warnanya merah menyala. Rok ini lebih bagus karena ada pita besar di bagian depan rok. “Makasih, Ibu,” Dela memeluk ibunya, “Ibu beli roknya di mana? Bagus sekali. Dela suka.” Ibu Dela hanya tersenyum. “Warna roknya sama persis kayak rok kesayangan ibu yang dikasih bapak, ya. Nanti kita pakai bareng-bareng ya, Bu,” kata Dela. Lagi-lagi Ibu Dela hanya tersenyum. Dela mencoba rok barunya sambil berputar-putar meniru adegan yang ada di televisi. Ibu Dela senang melihat anaknya bahagia. Dela berkaca di cermin panjang yang tertempel di lemari baju ibunya. Aih, betapa cantiknya anak perempuan ini! Rok pita ini menjadi rok kesayangan Dela sejak detik itu. Dela mengagumi rok pitu itu. Pasti harganya mahal, pikir Dela dalam hati. 

Saat sedang berputar-putar di depan cermin, Dela melihat tumpukan kain yang tidak wajar di pojok lemari baju ibu. Dela penasaran ingin melihat tumpukan yang berantakan itu. Di atas tumpukan ada gunting besar, gulungan benang, dan jarum. Tumpukan kain itu adalah potongan kain berwarna merah yang warnanya sama persis dengan rok Dela. Dela terkejut ketika di antara tumpukan kain itu, Dela melihat kancing-kancing hiasan yang sangat familiar. Dela sangat kenal dengan bentuk kancing-kancing hias itu. Kancing-kancing besar berwarna emas itu seperti kancing hias yang ada di rok ibu, pemberian dari bapak. Rok itu rok kesayangan ibu, rok yang jarang sekali ia gunakan. Rok yang ia cuci dengan sabun mandi. Rok hadiah dari bapak. Hadiah terakhir dari bapak sebelum meninggal. Kain itu dan rok yang sedang Dela pakai, itu rok ibu. “Ibuuuu,” seru Dela sambil menitikkan air mata. “Ibuuuu,” kata Dela sambil sesenggukkan. Dela berlari mendekati ibunya. Dela memeluk ibunya. “Ibu, maaf. Hik hik hik. Ibu, terima kasih.”

Untuk : Mama, Julitte Indarini serta semua perempuan ‘kuat’ yang berjuang demi keluarga. Perempuan itu kuat. Tiada banyak bicara. Ia berjuang menjalani hidup. Kekagumanku tidak pernah habis dan berkurang pada perempuan-perempuan yang berjuang seorang diri untuk keluarganya. Salut untukmu, Ma!


Apa kamu pernah berusaha untuk menjauhi sesuatu tetapi sesuatu itu malah mendekat? Bahkan dalam jumlah yang lebih banyak dan pada akhirnya kamu hanya pasrah jika itu yang terjadi. Lalu, kamu tidak mengusahakan apapun lagi untuk menjauhi sesuatu itu. Saya pernah. Sekarang sedang menikmati apa yang ditawarkan, tidak berusaha untuk menjauh atau mendekat. Pasif. Saya sadar, ada hal-hal yang tidak bisa dijauhkan dengan sengaja saat ini. Mungkin, waktu yang akan menjawab. Perubahan pasti terjadi dan saya akan bergerak aktif menentukan arah. Tidak sekarang. Sekarang belum saat yang tepat. Sekarang, saya akan hanya mengamati saja dulu. Apakah ada celah untuk saya bergerak? Semoga ketika celah itu muncul, tidak terlalu lama dari sekarang. Saya sudah letih menahan agar tidak jatuh terjun bebas ke bawah. Mari berharap. Harapan masih ada untuk menjadikan hal ini nyata.