Setiap pagi, Dela berjalan melewati jejeran toko-toko di Jalan Daha untuk mencapai sekolahnya. Toko-toko di sepanjang jalan ini sangat bermacam-macam. Ada toko elektronik, toko baju, supermarket, toko kaset, toko yang menjual ikat pinggang, toko jam, toko obat, apotek, dan masih banyak lagi macam-macam toko. Selain toko yang menjual barang-barang, ada juga yang menjual makanan. Dulu, Dela pernah sekali makan mi ayam oriental di suatu rumah makan yang pelayanannya tidak memuaskan. Dela harus menunggu lama sekali untuk menikmati semangkuk mi ayam oriental itu. Maklum bagi Dela jika mi ayam yang diidam-idamkannya itu membutuhkan proses masak yang lama karena penjual mi oriental ini dalah seorang ibu tua yang mulai renta. Ibu tua penjual mi ayam itu sekarang sedang menyapu ruangan warung makannya yang luas.
Selain mi ayam, ada juga yang menjual rujak cingur. Ehm, Dela tidak pernah suka makan rujak cingur sehingga ia cepat-cepat pergi melintasi warung rujak cingur itu. Tidak jauh dari warung rujak cingur, ada suatu warung makan kecil yang sangat senang Dela lewati. Warung makan rawon. Dela suka sekali menghirup aroma rawon yang baru saja dimasak di warung itu. Baunya sampai keluar ruangan dan Dela menghentikan langkahnya. Dela memejamkan matanya dan segera menghirup wangi keluwek yang amat pekat. Dela tersenyum. “Suatu hari aku ingin ibu memasakkannya untukku,“ kata Dela dalam hati. Sudah cukup bagi Dela untuk menikmati pagi hari yang cerah. Kemudian ia berlari menuju sekolahannya yang berada tidak jauh dari warung rawon. Sesaat ia berhenti dan menengok ke arah kiri, ke arah Stasiun Kediri. “Suatu saat nanti aku akan pergi jauh dengan kereta itu,” kata Dela dalam hati.
Dela berlari, menyeberang jalan, berjalan belok kanan, kemudian berlari kembali hingga mencapai pintu pagar SD-nya. Dela tidak pernah terlambat karena ia bangun pagi-pagi benar, saat matahari belum muncul. Dela berangkat sekolah berbarengan dengan ibunya yang bekerja di sebuah toko kelontong di Pasar Tempel. Sejak ayah Dela meninggal karena kecelakaan, ibu Dela bekerja keras tiap hari. Dela dan ibunya selalu berpisah di perempatan Baluwerti. Dela menyeberang jalan menuju jalan Daha, sedangkan ibunya berjalan belok kiri, ke arah timur menuju Pasar Tempel. Begitulah yang terjadi tiap pagi di hari Senin hingga Sabtu. Apabila hari Minggu tiba, mereka berkunjung ke rumah Kakung di Gogorante.
Dela, Yuli, dan Acing selalu berjalan kaki untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka bertiga bergandengan tangan sambil tertawa cekikikan. Mereka sedang membicarakan Bu Ety, guru Bahasa Indonesia yang tadi siang bersin-bersin tiada henti. Bu Ety selalu bergaya lucu ketika bersin. Ada gaya kaki kanan terangkat satu, gaya bungkuk, hingga bersin diakhiri dengan suara melengking tinggi yang membuat Bu Ety terengah-engah. Setelah itu mereka bernyanyi Bintang Kejora yang baru saja diajari oleh Pak Gun, guru kesenian mereka. Dela merasa sangat senang ketika bermain kelitik-kelitikan. Mereka tertawa kegelian lalu berlari sambil menghindari lalu lalang orang-orang. Dela begitu bersemangat mengejar Yuli dan Acing hingga ia menatap sesuatu di balik kaca etalase suatu toko pakaian. Rok berwarna merah marun yang sederhana dan tampak terbuat dari bahan yang sangat lembut. Dela berhenti dan menatap kagum rok itu dengan mata berbinar-binar. Dela terdiam dan menatap rok itu sangat lama hingga Yuli memanggilnya dari kejauhan. Dela terkesiap kemudian berlari mengejar Yuli dan Acing. Kakinya melangkah ke depan, matanya tertuju pada Acing dan Yuli tetapi pikirannya masih tertambat di depan kaca etalase toko itu.
Setelah sampai rumah, Dela bermain dengan teman sebayanya dan pulang ketika merasa lapar. Setelah makan kenyang, Dela tidur siang. Dela bangun dari tidur siang dan menyadari bahwa hari telah sore dan ia melupakan sesuatu. “Bu, belikan Dela rok tadi, Bu.” Ibu Dela terkejut. ‘Dela masih ingat rupanya,’ pikir Ibu Dela. “Tokonya sudah tutup kalau jam segini,” kata Ibu Dela. Dela merasa kecewa. Ibu Dela tampak sedih melihat wajah puterinya merengut. Setiap Dela melewati toko yang memajang rok idamannya, Dela kembali sedih. Dela sangat menginginkan memakai rok merah marun itu. Dela ingin merasa menjadi anak perempuan cantik seperti yang ada di televisi. Ibu selalu pulang sore hari sehingga tidak bisa membelikan Dela rok itu. Dela harus bersabar hingga hari Minggu tiba dan Ibu bisa membelikan Dela rok itu. Suatu siang di hari Kamis, Dela tercengang ketika tidak lagi mendapati rok merah marun kesukaannya itu di etalase toko. Dela sangat sedih begitu menyadari bahwa dia tidak akan memakai rok cantik itu. Dela berjalan meninggalkan toko itu dengan berat hati. Hancur sudah harapannya.
Saat sedang berputar-putar di depan cermin, Dela melihat tumpukan kain yang tidak wajar di pojok lemari baju ibu. Dela penasaran ingin melihat tumpukan yang berantakan itu. Di atas tumpukan ada gunting besar, gulungan benang, dan jarum. Tumpukan kain itu adalah potongan kain berwarna merah yang warnanya sama persis dengan rok Dela. Dela terkejut ketika di antara tumpukan kain itu, Dela melihat kancing-kancing hiasan yang sangat familiar. Dela sangat kenal dengan bentuk kancing-kancing hias itu. Kancing-kancing besar berwarna emas itu seperti kancing hias yang ada di rok ibu, pemberian dari bapak. Rok itu rok kesayangan ibu, rok yang jarang sekali ia gunakan. Rok yang ia cuci dengan sabun mandi. Rok hadiah dari bapak. Hadiah terakhir dari bapak sebelum meninggal. Kain itu dan rok yang sedang Dela pakai, itu rok ibu. “Ibuuuu,” seru Dela sambil menitikkan air mata. “Ibuuuu,” kata Dela sambil sesenggukkan. Dela berlari mendekati ibunya. Dela memeluk ibunya. “Ibu, maaf. Hik hik hik. Ibu, terima kasih.”
Untuk : Mama, Julitte Indarini serta semua perempuan ‘kuat’ yang berjuang demi keluarga. Perempuan itu kuat. Tiada banyak bicara. Ia berjuang menjalani hidup. Kekagumanku tidak pernah habis dan berkurang pada perempuan-perempuan yang berjuang seorang diri untuk keluarganya. Salut untukmu, Ma!
Selain mi ayam, ada juga yang menjual rujak cingur. Ehm, Dela tidak pernah suka makan rujak cingur sehingga ia cepat-cepat pergi melintasi warung rujak cingur itu. Tidak jauh dari warung rujak cingur, ada suatu warung makan kecil yang sangat senang Dela lewati. Warung makan rawon. Dela suka sekali menghirup aroma rawon yang baru saja dimasak di warung itu. Baunya sampai keluar ruangan dan Dela menghentikan langkahnya. Dela memejamkan matanya dan segera menghirup wangi keluwek yang amat pekat. Dela tersenyum. “Suatu hari aku ingin ibu memasakkannya untukku,“ kata Dela dalam hati. Sudah cukup bagi Dela untuk menikmati pagi hari yang cerah. Kemudian ia berlari menuju sekolahannya yang berada tidak jauh dari warung rawon. Sesaat ia berhenti dan menengok ke arah kiri, ke arah Stasiun Kediri. “Suatu saat nanti aku akan pergi jauh dengan kereta itu,” kata Dela dalam hati.
Dela berlari, menyeberang jalan, berjalan belok kanan, kemudian berlari kembali hingga mencapai pintu pagar SD-nya. Dela tidak pernah terlambat karena ia bangun pagi-pagi benar, saat matahari belum muncul. Dela berangkat sekolah berbarengan dengan ibunya yang bekerja di sebuah toko kelontong di Pasar Tempel. Sejak ayah Dela meninggal karena kecelakaan, ibu Dela bekerja keras tiap hari. Dela dan ibunya selalu berpisah di perempatan Baluwerti. Dela menyeberang jalan menuju jalan Daha, sedangkan ibunya berjalan belok kiri, ke arah timur menuju Pasar Tempel. Begitulah yang terjadi tiap pagi di hari Senin hingga Sabtu. Apabila hari Minggu tiba, mereka berkunjung ke rumah Kakung di Gogorante.
Dela, Yuli, dan Acing selalu berjalan kaki untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka bertiga bergandengan tangan sambil tertawa cekikikan. Mereka sedang membicarakan Bu Ety, guru Bahasa Indonesia yang tadi siang bersin-bersin tiada henti. Bu Ety selalu bergaya lucu ketika bersin. Ada gaya kaki kanan terangkat satu, gaya bungkuk, hingga bersin diakhiri dengan suara melengking tinggi yang membuat Bu Ety terengah-engah. Setelah itu mereka bernyanyi Bintang Kejora yang baru saja diajari oleh Pak Gun, guru kesenian mereka. Dela merasa sangat senang ketika bermain kelitik-kelitikan. Mereka tertawa kegelian lalu berlari sambil menghindari lalu lalang orang-orang. Dela begitu bersemangat mengejar Yuli dan Acing hingga ia menatap sesuatu di balik kaca etalase suatu toko pakaian. Rok berwarna merah marun yang sederhana dan tampak terbuat dari bahan yang sangat lembut. Dela berhenti dan menatap kagum rok itu dengan mata berbinar-binar. Dela terdiam dan menatap rok itu sangat lama hingga Yuli memanggilnya dari kejauhan. Dela terkesiap kemudian berlari mengejar Yuli dan Acing. Kakinya melangkah ke depan, matanya tertuju pada Acing dan Yuli tetapi pikirannya masih tertambat di depan kaca etalase toko itu.
***
“Bu, besok kita nggak usah ke rumah Kakung, ya. Dela pengin jalan-jalan,” kata Dela pada ibunya yang baru pulang kerja. “Memang mau jalan-jalan ke mana?” tanya ibu sambil melepas sepatu. “Jalan Daha,” jawab Dela mantap. “Lah, kamu kan setiap hari lewat situ kalau mau ke sekolah.” Ibu Dela kebingungan atas permintaan anak satu-satunya itu. “Ada yang mau Dela tunjukkin ke Ibu, deh,” tukas Dela sambil tersenyum.
Dela tidak sabar menantikan esok menjelang hingga tidak bisa tidur malam itu. Pikirannya masih tertambat pada rok merah marun yang dipajang di etalase toko di Jalan Daha itu. ‘Aku pasti cantik kalau pakai rok itu’, pikir Dela sesaat sebelum tertidur lelap.
***
Dela dan ibunya pergi ke Jalan Daha saat toko-toko belum ada yang buka. Dela terus merajuk agar ibunya lekas mandi dan pergi ke toko itu. Ibu Dela sangat bingung dengan tingkah laku anaknya yang aneh. Dela berlari dengan semangat sambil menggandeng tangan ibunya. Sampailah mereka di depan etalase kaca suatu toko pakaian. “Bu, aku mau itu,” kata Dela dengan senyum sumringahnya. Ibu Dela terdiam sambil menatap anaknya lekat-lekat. “Iya, nanti ya,” kata Ibu Dela pelan. “Sekarang, Bu. Besok udah ga ada lagi,” rengek Dela. “Pasti masih ada, kok. Nanti ya,” jelas Ibu Dela. “Sekarang, Bu. Sekaraaaaang!!!” rengek Dela. Dela terus merengek. Dela duduk di trotoar jalan sambil menangis dan menjerit ingin dibelikan roknya sekarang. Ibu Dela memandangi Dela dalam diam. Ibu Dela menunggu anaknya berhenti menangis akibat kecapaian. Setelah itu, Ibu Dela duduk di sebelah Dela dan berkata, “Tokonya masih tutup. Kita pulang dulu, tunggu tokonya buka.” Dela menurut. Mereka pulang berjalan kaki. Dela sudah tidak menangis lagi, hanya sesenggukan dan sesekali menarik ingusnya. Setelah sampai rumah, Dela bermain dengan teman sebayanya dan pulang ketika merasa lapar. Setelah makan kenyang, Dela tidur siang. Dela bangun dari tidur siang dan menyadari bahwa hari telah sore dan ia melupakan sesuatu. “Bu, belikan Dela rok tadi, Bu.” Ibu Dela terkejut. ‘Dela masih ingat rupanya,’ pikir Ibu Dela. “Tokonya sudah tutup kalau jam segini,” kata Ibu Dela. Dela merasa kecewa. Ibu Dela tampak sedih melihat wajah puterinya merengut. Setiap Dela melewati toko yang memajang rok idamannya, Dela kembali sedih. Dela sangat menginginkan memakai rok merah marun itu. Dela ingin merasa menjadi anak perempuan cantik seperti yang ada di televisi. Ibu selalu pulang sore hari sehingga tidak bisa membelikan Dela rok itu. Dela harus bersabar hingga hari Minggu tiba dan Ibu bisa membelikan Dela rok itu. Suatu siang di hari Kamis, Dela tercengang ketika tidak lagi mendapati rok merah marun kesukaannya itu di etalase toko. Dela sangat sedih begitu menyadari bahwa dia tidak akan memakai rok cantik itu. Dela berjalan meninggalkan toko itu dengan berat hati. Hancur sudah harapannya.
***
“Bu, roknya sudah nggak ada lagi,” kata Dela sedih. Ibu Dela tidak berkata apa-apa. Ia masuk ke dalam kamar dan membawa sesuatu. “Ini coba dipakai,” kata Ibu Dela sambil menyodorkan sesuatu. “Bu, ini bagus sekali. Aku suka. Ini lebih bagus dari yang ada di toko,” seru Dela. Dela sangat menyukai rok barunya. Mesi berbeda dengan yang ada di toko, rok ini sangat bagus. Warnanya merah menyala. Rok ini lebih bagus karena ada pita besar di bagian depan rok. “Makasih, Ibu,” Dela memeluk ibunya, “Ibu beli roknya di mana? Bagus sekali. Dela suka.” Ibu Dela hanya tersenyum. “Warna roknya sama persis kayak rok kesayangan ibu yang dikasih bapak, ya. Nanti kita pakai bareng-bareng ya, Bu,” kata Dela. Lagi-lagi Ibu Dela hanya tersenyum. Dela mencoba rok barunya sambil berputar-putar meniru adegan yang ada di televisi. Ibu Dela senang melihat anaknya bahagia. Dela berkaca di cermin panjang yang tertempel di lemari baju ibunya. Aih, betapa cantiknya anak perempuan ini! Rok pita ini menjadi rok kesayangan Dela sejak detik itu. Dela mengagumi rok pitu itu. Pasti harganya mahal, pikir Dela dalam hati. Saat sedang berputar-putar di depan cermin, Dela melihat tumpukan kain yang tidak wajar di pojok lemari baju ibu. Dela penasaran ingin melihat tumpukan yang berantakan itu. Di atas tumpukan ada gunting besar, gulungan benang, dan jarum. Tumpukan kain itu adalah potongan kain berwarna merah yang warnanya sama persis dengan rok Dela. Dela terkejut ketika di antara tumpukan kain itu, Dela melihat kancing-kancing hiasan yang sangat familiar. Dela sangat kenal dengan bentuk kancing-kancing hias itu. Kancing-kancing besar berwarna emas itu seperti kancing hias yang ada di rok ibu, pemberian dari bapak. Rok itu rok kesayangan ibu, rok yang jarang sekali ia gunakan. Rok yang ia cuci dengan sabun mandi. Rok hadiah dari bapak. Hadiah terakhir dari bapak sebelum meninggal. Kain itu dan rok yang sedang Dela pakai, itu rok ibu. “Ibuuuu,” seru Dela sambil menitikkan air mata. “Ibuuuu,” kata Dela sambil sesenggukkan. Dela berlari mendekati ibunya. Dela memeluk ibunya. “Ibu, maaf. Hik hik hik. Ibu, terima kasih.”
Untuk : Mama, Julitte Indarini serta semua perempuan ‘kuat’ yang berjuang demi keluarga. Perempuan itu kuat. Tiada banyak bicara. Ia berjuang menjalani hidup. Kekagumanku tidak pernah habis dan berkurang pada perempuan-perempuan yang berjuang seorang diri untuk keluarganya. Salut untukmu, Ma!
emak Julitteeee... I lpo u pulll.. :)
BalasHapus