Halaman

Selasa, 28 Juni 2011

Rindu ( rindangnya syahdu )


benarkah bertemu menetralkan rindu

yang selama ini senantiasa mengganggu


dimana telah lama menggeliat indah dikalbu

ber asa agar selalu hangat bersua tiada berlalu

sampai malupun terselimut kangen menggebu

walau semalam sudah memetik nuansa semu


y o g y a k a r t a

13 desember 2005

oleh Handoyo Wibowo

Cerita Tentang Pohon dan Angin


Sesak aku menanti lambaian daun yang bergoyang
Tak akan terjadi jika tak ada angin
Pohon itu akan tetap berdiri tegap tanpa terusik oleh keramaian
Pohon itu penyuka sepi

Aku tak suka sunyi
Aku hanya ingin udara yang bergerak itu menyapanya
Membuatnya terbangun dari kealpaan
Pikirku pohon itu tak akan mungkin diam saja selamanya

Tak mungkin ada satu pohon pun yang akan tetap berdiri kokoh terhembus angin
Mungkin bukan terhembus, mungkin bukan tertiup
Mungkin terporak-poranda akibat angin besar
Angin besar yang dahulu adalah angin kecil

Mungkin pohon itu tak pernah tahu bahwa angin besar dapat meluluhkannya
Ia teramat angkuh untuk mengakui keberadaan yang lain
Tak pernah terbesit di benaknya untuk melambaikan daunnya atas sapaan angin
Angkuhnya itu membangunkan angin kecil hingga menjadi besar dan semakin besar

Lalu angin menghembuskan, meniupkan aura, kesetiaan, dan cinta dengan segenap hatinya pada pohon
Seketika pohon luluh lantak
Tak ada akar yang begitu berarti olehnya sehingga ia menjadi amat tak berarti
Akar kesombongannya tercabut begitu saja oleh angin yang dahulunya kecil

Pohon itu luluh lantak dan berdiri kembali dengan sisa-sisa rasa yang tertinggal
Hanya tinggal rasa kagum, kesetiaan, dan cinta
Kemudian . . .
Pohon dan angin melengkapi cerita dunia yang mungkin tak pernah ada apa dan siapa pun tahu

Senin, 27 Juni 2011

So saddd...

Kalah. Lagi.
Ganda putri kalah dari pasangan Cina. Oh, tidak apa-apa. Semoga mereka memetik pelajaran berharga dan menang di waktu yang lain. Mix double kalah???!!! What?!!
Sedikit sebal tentunya.. Tapi, apa mau dikata. Begitulah hasilnya. Semoga dunia perbulutangkisan Indonesia lebih baik!!!!

Aa Topik jangan gantung raket dulu, ya… Tahun depan kupastikan, aku akan menonton langsung ke Istora untuk mendukungmu! Oleh karena itu, janganlah kamu begitu.

Minggu, 26 Juni 2011

Seputar Bulutangkis

Mengapa orang di desa lebih sering menggunakan kata ‘badminton’ dibandingkan kata ‘bulutangkis’ ?

Mengapa sebagian besar atlet bulutangkis –khususnya atlet Indonesia- memakai kalung emas?
Mengapa WNI pecinta bulutangkis suka sekali berkata (misalnya), “Sekarang skor kita tipis banget sama lawan.” Kita = tim bulutangkis Indonesia. Itu menandakan bahwa masyarakat Indonesia pecinta bulutangkis memiliki hubungan yang erat dengan bulutangkis dan Indonesia. Maka, jadilah begitu. Tangis dan sukacita pemain milik bersama. Rasa yang satu dan sama itulah Indonesia.

Sabtu, 25 Juni 2011.
-tapi Peter kalah ternyata.. T.T

Senin, 20 Juni 2011

SATU

Beberapa hari ini hujan membasahi tanah yang selalu kupijaki tiap hari. Bukan hanya aku, namun semua orang yang selalu melintasi jalan ini. Jalan ini membawaku ke suatu tempat di mana aku dan dia beralih menjadi satu. Satu dalam jiwa. Bukan satu dalam raga yang menempel erat. Aku tak peduli dengan hal-hal dunia macam itu. Terlalu angkuh untuk membuang percuma kesempatan indah yang kita punya bagi sesuatu hal yang hanya bertahan sekejap saja.

Pikiranku membaca tajam apa mauku. Aku mau dia. Aku mau hatinya. Aku mau nyawanya. Aku pun mau jiwanya. Tak pernah terpikirkan sekalipun aku ada tanpanya. Aku dan dia harus bersatu. Satu adalah tujuanku. Bukan dua yang selalu menyakitkan hati. Dua itu terkutuk. Dua membagi yang satu dengan yang lain. Dua memisahkan aku dengannya. Oleh karena itu, aku harus bersatu dengannya. Aku dan dia bersatu. Satu untuk selamanya.

Jiwaku dan jiwanya menjadi satu. Dia tak akan hidup tanpa aku, jiwanya. Begitu juga aku. Andai semua orang tahu di mana jiwa mereka berada, tentu saja mereka akan merasa sebagai seseorang yang utuh, seperti aku.
Aku mengenalnya hanya dalam waktu satu detik. Satu pandangan saja dapat menjelaskan semua seluk beluk yang menggambarkan dirinya. Aku merasa tertarik saat tatapanku tampak jelas di bola matanya.

Satu dapat menjelaskan segalanya. Satu tidak dapat terelakkan. Satu itu mutlak. Tuhan itu satu. Tuhan itu mutlak. Maka aku dan dia adalah satu. Aku dan dia mutlak. Aku Hawa dan dia, Adam. Aku diambil dari tulang rusuk kirinya. Aku dibuat dari bagian tubuhnya karena kami adalah satu.

Beberapa bulan telah berlalu. Kini, jalan itu telah dirombak oleh kuli-kuli bangunan menjadi dua jalur. Satu untuk jalur pejalan kaki dan jalur yang lain untuk pengendara sepeda. Meski jalan itu melambangkan cintaku dan dia, aku yakin cintaku tetap abadi di dalam satu, bukan dua seperti jalur jalan itu.
Kami akan tetap pada pendirian bahwa kami adalah satu.
. . .
. . .
Kami?
. . .
. . .
Atau mungkin tepatnya itu aku?
Aku masih berpegang pada pendirian bahwa aku dan dia adalah satu. Dia adalah munafik yang tak segannya melontarkan kata-kata cinta hanya untuk menyakitiku saja. Dia tak ubahnya bedebah yang melayangkan aku dengan segala tindakan dan pemikirannya yang aku suka. Dialah makhluk ular yang amat licik. Dia ular, namun bagiku dia tetap Adam.

Aku silau oleh cahaya kebohongan yang selalu menyebarkan sinarnya di kala aku galau. Aku tak tega untuk mengakui kenyataan yang terjadi. Aku dibutakan oleh dia. Aku tak dapat membuka pintu pikiran agar berpikir jernih, meskipun aku telah melihat bahwa jalan yang telah dibagi oleh dua, si pengkhianat itu, kini telah berlumpur.

Apalah artinya itu? Dia berkhianat padaku? Entahlah. Dia tetap Adamku.
Dia telah berlaku menjijikkan seperti lumpur itu? Mungkin saja. Meski begitu, dia tetap jiwaku.

Apakah dia tak bersamaku lagi? Iya. Raga tak bersatu, namun jiwa tetap menjadi satu. Kami adalah mutlak. Kami adalah satu. Jiwanya adalah jiwaku, jiwaku adalah jiwanya. Aku dan dia adalah satu. Bukan dua, si terkutuk yang berkhianat.

(Di dalam sepi, biarlah delusi yang mengalir. Biarkan aku tetap menjadi satu dengan dia meski hanya dalam ingatan saja.)


-terinspirasi dalam setiap perenungan yang tiada henti-

17 Februari 2009
15.20

***

Selasa, 07 Juni 2011

Pingit dan Kembang Api

Senin, 6 Juni 2011
Hari ini ada kakakku, Yovi dan sepupuku, Budi berulang tahun. Tak ada kado yang dapat kuberikan. Lalu, hanya ucapan saja yang keluar dari mulut. Sedikit kecupan untuk Yovi dan beberapa kali sms untuk Budi.

Malam ini aku memaksakan diri berangkat ke Pingit (anakpingit@blogspot.com) di mana anak-anak sudah menanti. Sampai di sana, ternyata volunteer tamu mengadakan acara perpisahan. Di sela-sela acara, di suatu tempat di seberang sungai jauh melewati kuburan ada luncuran kembang api berwarna-warni menuju atap langit. Wuaaw, momen seperti ini sangat disenangi anak-anak. Empat kali kembang api itu memancarakan keindahannya, sebanyak itu pulalah anak-anak mengalihkan perhatian dari acara dan berteriak kegirangan setelah mendapatkan posisi yang pas untuk melihat si kembang api. Sungguh menyenangkan melihat mereka tertawa, berteriak kegirangan, dan berlari-lari hanya sekedar untuk melihat cipratan kembang api. Malam itu, ramai.Ramai di luar, sepi di dalam. Tahu maksudku?

Huuff.. Entahlah, sedikit senang namun mendadak terdiam dan medadak kesal. Aku tahu tetapi tak ingin memberi tahu.
Andai aku dapat tersenyum lebar bagai bulan sabit di atas sana. Dia kesepian karena tak ada teman yang menemani di dekatnya tapi dia tetap tersenyum. Mungkin dia tahu, meski tak ada bintang yang menemani di dekatnya, bintang-bintang itu tetap ada di kejauhan atau pun di balik awan.

Mencoba menyingkirkan rasa sakit di perut dan tekanan keras di kepala, aku tetap melangkah riang dan mengingat senyum Septin saat bermain wayang nyamuk tadi. Huh. Anak-anak.. Sungguh membahagiakan.