Halaman

Senin, 20 Juni 2011

SATU

Beberapa hari ini hujan membasahi tanah yang selalu kupijaki tiap hari. Bukan hanya aku, namun semua orang yang selalu melintasi jalan ini. Jalan ini membawaku ke suatu tempat di mana aku dan dia beralih menjadi satu. Satu dalam jiwa. Bukan satu dalam raga yang menempel erat. Aku tak peduli dengan hal-hal dunia macam itu. Terlalu angkuh untuk membuang percuma kesempatan indah yang kita punya bagi sesuatu hal yang hanya bertahan sekejap saja.

Pikiranku membaca tajam apa mauku. Aku mau dia. Aku mau hatinya. Aku mau nyawanya. Aku pun mau jiwanya. Tak pernah terpikirkan sekalipun aku ada tanpanya. Aku dan dia harus bersatu. Satu adalah tujuanku. Bukan dua yang selalu menyakitkan hati. Dua itu terkutuk. Dua membagi yang satu dengan yang lain. Dua memisahkan aku dengannya. Oleh karena itu, aku harus bersatu dengannya. Aku dan dia bersatu. Satu untuk selamanya.

Jiwaku dan jiwanya menjadi satu. Dia tak akan hidup tanpa aku, jiwanya. Begitu juga aku. Andai semua orang tahu di mana jiwa mereka berada, tentu saja mereka akan merasa sebagai seseorang yang utuh, seperti aku.
Aku mengenalnya hanya dalam waktu satu detik. Satu pandangan saja dapat menjelaskan semua seluk beluk yang menggambarkan dirinya. Aku merasa tertarik saat tatapanku tampak jelas di bola matanya.

Satu dapat menjelaskan segalanya. Satu tidak dapat terelakkan. Satu itu mutlak. Tuhan itu satu. Tuhan itu mutlak. Maka aku dan dia adalah satu. Aku dan dia mutlak. Aku Hawa dan dia, Adam. Aku diambil dari tulang rusuk kirinya. Aku dibuat dari bagian tubuhnya karena kami adalah satu.

Beberapa bulan telah berlalu. Kini, jalan itu telah dirombak oleh kuli-kuli bangunan menjadi dua jalur. Satu untuk jalur pejalan kaki dan jalur yang lain untuk pengendara sepeda. Meski jalan itu melambangkan cintaku dan dia, aku yakin cintaku tetap abadi di dalam satu, bukan dua seperti jalur jalan itu.
Kami akan tetap pada pendirian bahwa kami adalah satu.
. . .
. . .
Kami?
. . .
. . .
Atau mungkin tepatnya itu aku?
Aku masih berpegang pada pendirian bahwa aku dan dia adalah satu. Dia adalah munafik yang tak segannya melontarkan kata-kata cinta hanya untuk menyakitiku saja. Dia tak ubahnya bedebah yang melayangkan aku dengan segala tindakan dan pemikirannya yang aku suka. Dialah makhluk ular yang amat licik. Dia ular, namun bagiku dia tetap Adam.

Aku silau oleh cahaya kebohongan yang selalu menyebarkan sinarnya di kala aku galau. Aku tak tega untuk mengakui kenyataan yang terjadi. Aku dibutakan oleh dia. Aku tak dapat membuka pintu pikiran agar berpikir jernih, meskipun aku telah melihat bahwa jalan yang telah dibagi oleh dua, si pengkhianat itu, kini telah berlumpur.

Apalah artinya itu? Dia berkhianat padaku? Entahlah. Dia tetap Adamku.
Dia telah berlaku menjijikkan seperti lumpur itu? Mungkin saja. Meski begitu, dia tetap jiwaku.

Apakah dia tak bersamaku lagi? Iya. Raga tak bersatu, namun jiwa tetap menjadi satu. Kami adalah mutlak. Kami adalah satu. Jiwanya adalah jiwaku, jiwaku adalah jiwanya. Aku dan dia adalah satu. Bukan dua, si terkutuk yang berkhianat.

(Di dalam sepi, biarlah delusi yang mengalir. Biarkan aku tetap menjadi satu dengan dia meski hanya dalam ingatan saja.)


-terinspirasi dalam setiap perenungan yang tiada henti-

17 Februari 2009
15.20

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar