Halaman

Kamis, 31 Januari 2013

PETILASAN PRABU JAYABAYA


Setelah mengunjungi arca Totok Kerot, kami melanjutkan ke tempat Petilasan Prabu Jayabaya. Terasa sangat ebrbeda ketika sudah memasuki suatu perkampungan. Suasana kampung ini sangat, sangat tua. Entah mengapa, saya merasa suasananya sangat pekat, sepi, dan saya bisa mengetahui gang di mana petilasan berada. Lagi-lagi, entah mengapa. Mungkin tebakan yang sedang beruntung saja, atau memang auranya sangat terasa. Kami parkir motor di salah satu rumah warga karena petilasan tidak menyediakan tempat parkir. Tempat berziarah ini tidak sesunyi tempat berziarah Ki Ageng Singoprono di Gunung Tugel, Boyolali (nanti akan dibahas juga), tetapi hal itu tidak mengurangi kemistisan petilasan ini. Saat kami datang, ada satu keluarga yang berkunjung, selain itu ada beberapa peziarah yang duduk di tanah beralaskan tikar. Kemungkinan besar, para peziarah itu menginap untuk berdoa ataupun semedi. Ada tiga tempat utama yang ada di petilasan, yaitu : Loka muksa, loka busana, dan loka makuta. Loka muksa adalah tempat di mana Prabu Jayabaya muksa, hilang, melakukan perjalanan keluar raga. Di situ juga makam Prabu Jayabaya yang ditemukan oleh Warsodikromo pada tahun 1860 melalui mimpi. Pada tahun 1975, tempat ini dipugar menjadi makam yang megah. Menurut Marwoto (2011), desain loka muksa ini melalui gambaran yang diberikan oleh Prabu Jayabaya dengan Ki Wirjodikarso di alam astral. Loka busana adalah lambang tempat busana diletakkan sebelum muksa. Loka muksa dikelilingi oleh dinding beton abu-abu tua, tidak dicat. Lokasi loka muksa ditumbuhi oleh banyak pohon tinggi yang membuat nyaman, bukan ngeri. Loka makuta yang berada di luar pagar loka muksa adalah lambang bahwa kerajaan sudah berada di luar, berakhir, untuk jaman yang akan datang. Di petilasan ini, saya khawatir Moty akan ketakutan seperti pada saat melihat arca Totok Kerot. Ternyata Moty senang sekali di sini. Moty tertawa ceria, berlari ke sana kemari (padahal ini tempat ziarah, hehe). Saya pikir memang berbeda, suasana di petilasan ini sangat nyaman, terang, dan ‘ringan’. Di daerah situ, Menang, ada Sendang Tirtokamandanu. Bulek saya sih, bilangnya ini tempat mandi putri-putri kerajaan. Ya, mungkin saja. Toh, daerah Menang ini disinyalir lokasi dari Keraton Kediri. Namun, saya belum sempat ke sana. Mungkin lain kali. Ada yang mau ikut?  sumber gambar (Loka Muksa) : dokumen pribadi

TOTOK KEROT

Totok Kerot merupakan arca raksasa ; arca dengan ukuran besar yang berada di tepi jalan Desa Bulupasar, Pagu, Kediri. Jika ingin ke Petilasan Prabu Jayabaya pasti melewati tempat ini. Arca ini berada di lokasi yang masih sangat asri, masih banyak pepohonan dan persawahan. Namun, entah beberapa waktu nanti, apakah masih sama keadaannya dengan sekarang. Arca dilindungi oleh pagar hijau yang memutar agar tidak ada pengunjung yang masuk. Lingkup arca ini hanya sepetakan saja. Jadi, saya hanya bisa mengambil gambar dari luar pagar saja. Arca ini sudah rusak, bagian tangan sebelah kiri tidak ada. Namun, selebihnya kondisi arca ini terawat.
Mitos. Arca Totok Kerot ini mempunyai mitos di baliknya. Warga sekitar meyakini bahwa arca tersebut bersifat mistis. Bulek (tante) saya yang asli orang Kediri dan sering ke tempat arca ini saat SD bilang bahwa arca itu dahulu pernah dipindah ke museum namun belum sampai satu hari di sana, pada tengah malam arca Totok Kerot sudah kembali ke tempat asalnya. Katanya juga, dulu arca ini tertimbun tanah. Cerita tentang Totok Kerot simpang siur.
Cerita yang saya dengar adalah tentang seorang putri suatu kerajaan yang menyukai Prabu Jayabaya dengan memaksa sehingga timbul perang. Lalu, Prabu Jayabaya mengutuk putri itu menjadi batu dengan rupa yang buruk. Rupa buruk itu merupakan penggambaran dari sifat buruk putri itu. Bulek saya juga bercerita, mimik wajah arca bisa berbeda-beda tergantung harapan orang yang melihat. Kalau ada orang yang mengatakan arca itu berwajah jelek, orang tersebut tidak akan mendapatkan senyuman dari Totok Kerot.
sumber gambar : dokumen pribadi
Pada saat saya ke sana, saya bersama bulek dan anaknya, Moty. Moty masih berusia dua, hampir tiga tahun. Ketika saya sudah selesai mengambil foto arca, Moty berkata, “Sik, sik.” Moty masih ingin melihat arca itu namun setelah beberapa saat Moty mengajak pulang. “Mulih,” katanya. “Ngopo, ty?” tanya bulek saya. “Dhemit,” kata Moty ketakutan sambil menutup wajahnya dan menarik kelopak mata bawah ke arah bawah dengan tangannya. Entah, Moty ketakutan karena apa. Hiii…. Lalu, kami melanjutkan perjalanan ke Petilasan Jayabaya.

PERJALANAN SEJARAH


PERJALANAN SEJARAH


Kali ini saya akan menceritakan tentang perjalanan-perjalanan sejarah yang telah saya lakukan. Sebenarnya, banyak sekali pengalaman saya yang berkaitan dengan wisata ke tempat-tempat bersejarah namun baru kali ini terpikirkan oleh saya untuk menuliskannya di blog.


Awal ketertarikan saya terhadap sejarah adalah saat saya mulai mengagumi Bung Karno. Hal ini tidak lain adalah pengaruh dari Mbah Kung saya. Beliau adalah veteran PETA yang sangat menghormati sosok Bung Karno. Ada dua lukisan besar Pak Karno di rumah Mbah Kung. Ada juga gambar burung garuda dan butir-butir pancasila yang terbingkai di sudut salah satu kamar. Nasionalis sekali Mbah saya ini J.


Nah, dari situ saya mulai tertarik untuk mencari tahu tentang Pak Karno dan membaca teks pidato beliau saat di PBB yang berjudul ”Build World A New”. Sejak dari situ saya suka sekali mencari tahu tentang hal-hal yang berbau vintage ; seperti kejadian masa lalu hingga fashion. Saya pikir, sejarah itu alurnya berulang. Sesuatu yang dulu pernah terjadi mungkin akan terjadi kembali pada masa ini, selalu berulang mengikuti alur lingkaran yang tidak pernah putus. Dahulu kala kita pernah berjaya, maka suatu saat kita juga akan kembali berjaya. Jadi, bagi saya sejarah merupakan rajanya pengetahuan untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dan akan terjadi.


Well, sebenarnya saya sudah menjelejah banyak sekali candi dan tempat bersejarah di Jogja, namun kali ini saya akan bercerita tentang perjalanan saya ke Totok Kerot, Petilasan Prabu Jayabaya, dan Goa Selomangleng di Kediri, Jawa Timur.

Memutar waktu ke belakang hanya untuk belajar. 


sumber gambar : www.google.com


Selasa, 15 Januari 2013

UDARA

Matahari keluar dari peraduannya.
Aku menatap jera ke arahnya.
Silau sekali ternyata.
Aku berdoa dalam hati pada sang mentari.
Agar hari ini ia tidak beranjak pergi ke balik awan.
Aku butuh cahayanya di setiap gerakku hari ini.
Aku sedang berjalan menuju tempat di mana ada udara.
Udara yang sejuk.
Di sini aku sesak.
Aku mau ke sana.
Arahkan terangmu sebentar, mentari.
Aku mau ke sana.
Aku mau dia.
Si Udara.