Halaman

Rabu, 14 November 2012

MASALAH EMOSIONAL

Saat mengerjakan skripsi yang dibutuhkan pertama dan terpenting adalah ketahanan emosional bukan ketahanan intelektual. Bagiku, saat menyusun skripsi aku tidak bermasalah secara intelektual. Aku dapat mencari segala informasi dari berbagai sumber. Entah buku, jurnal, internet, ahli, maupun hasil dari sintesa yang telah kulakukan. Namun, ketika emosional memegang kendali dalam setiap proses penyusunan skripsi, itu menjadi masalah. Aku menjadi tidak fokus dan eerrr.. banyak gangguan!!! 
Aku harus sangat memperhatikan gejolak emosi yang terjadi pada diriku. Orait. Aku pikir, aku hanya tidak dapat mengendalikan emosi saat pengerjaan skripsi saja, tapi ternyata tidak! 
Jauh dari masalah pengerjaan skripsi, masalah terutama adalah ada pada diriku di mana aku terlalu melibatkan diri, meleburkan perasaan terlalu jauh pada hal yang merupakan bukan tanggung jawabku.
Saat aku melihat sesuatu hal yang tidak benar (menurutku) dan harus segera dibenahi untuk perkembangan kemanusiaan yang lebih baik, aku merasa terikat dan harus membantu untuk menuntaskan masalah itu.
Semangat yang berlebih untuk menolong itu tidak jarang dapat membuatku lupa akan hal-hal bersifat pribadi yang kumiliki. Aku terlalu melibatkan diri terlalu jauh ke dalam masalah orang lain. Bahasa anak sekarang, berle atau lebai, begitu 
Hal ini sekarang menyulitkanku. Pengambilan data yang kulalui dengan cara wawancara menjadi sulit dan tidak kompeten dalam menggali info yang baik. Itu terjadi karena aku memiliki kedalaman emosional yang berlebihan. Mengapa berlebihan? Kata 'berlebihan' ini menjelaskan bahwa kedalaman emosi yang kubangun terhadap subyek ternyata mencemari proses pengambilan data yang baik. Terlalu banyak subyektivitas di sana, tidak murni, dan terlalu melibatkan diriku bukan sebagai peneliti.
Masuk akal, bukan?
Itu belum sepenuhnya menjelaskan mengapa kedalaman emosi yang kubangun menjadi bermasalah. Setiap aku menyaksikan dan melibatkan perasaan yang terlalu dalam, masalah itu akan terinternalisasi dan menjadi bebanku. Jika terlalu banyak beban yang kupikul, apa yang akan terjadi padaku? Haaahhh... terlalu menyakitkan untuk dibayangkan.
Sebagai contoh di mana aku mengetahui bahwa aku lemah dalam hal 'tidak memikirkan orang lain' ; aku menolak menjenguk seseorang yang sedang sakit (pengobatan+kehidupannya ditanggung oleh teman-teman) dengan alasan : aku sedang tidak mau melibatkan diri pada keadaan emosional mendalam karena aku merasa sedang tidak mampu, terlalu banyak mengetahui kehidupan anak-anak pingit dan merasa bahwa kebahagiaan mereka adalah tanggung jawabku. BERLE! Sampai aku mengatakan itu, aku baru sekedar tahu, belum menyadari bahwa efek dari kedalaman emosional yang kubangun kepada orang lain itu ternyata malah membebaniku.

Jika aku terus seperti ini dan menjadi psikolog, bisa-bisa aku menjadi psikolog yang keluar masuk RS Kejiwaan karena terlalu banyak menginternalisasi masalah klien. (*baru sadar, ternyata aku tidak pernah mau menjadi psikolog karena aku tidak punya keyakinan bahwa aku tidak akan membawa masalah klien ke dalam kehidupan pribadi)

Lalu, adakah pertentangan antara peneliti dan pendamping dalam mentreat anak? Berdasarkan diskusi dengan bapak dosen tercinta, Pak C. Adi W, tidak ada pertentangan. Peneliti maupun pendamping hendaknya sama-sama tidak melibatkan perasaan yang terlalu dalam karena dapat mempengaruhi cara seseorang dalam memperlakukan anak. Bahkan, pendidik pun tidak melibatkan perasaan terlalu dalam, katanya. Mungkin begini yah simpelnya, "Aku tahu dan dapat memahami masalah-masalah mereka, namun saat di rumah (keadaan secara pribadi) itu tidak mempengaruhiku lagi. Ada kesadaran, ada kontrol, ada pemisahan."

Bagaimana mengakali agar aku bisa seperti itu? Tentu saja latihan. (*tanya sendiri, jawab sendiri --> caraku berefleksi :P)


Semoga saja, ini bukan sekedar tulisan tetapi juga akan menjadi perwujudan. Ehmm.. bukan akan tapi terlaksana

Terima kasih, skripsi. Berkat adanya skripsi, aku menjadi tahu bahwa aku memiliki kecenderungan untuk menjadikan masalah orang lain sebagai tanggung jawabku, bebanku. Ehmm.. jika ditilik kembali mungkin ini adalah *superhero syndrom. (*semakin terkuatkan )

Setiap permasalah yang terjadi pada akhirnya harus diselesaikan 
dan menjadi pembelajaran agar tidak terulang kembali. 



-Aku tahu tulisanku tidak runtut, yah masih butuh berlatih untuk menyusun berbagai hal secara sistematis.-


Bukan hanya dikatakan, dirancanakan tetapi dialami dan dihidupi. :)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar