Halaman

Kamis, 29 September 2011

Pingit Kembali


            Ketika mendengar kata Pingit, mungkin terbesit ingatan akan tingkah laku anak-anak yang serba atraktif. Mungkin juga banyak keluhan yang sudah dilontarkan oleh Pingiters. Hal itu wajar terjadi mengingat lingkungan Pingit yang dapat mempengaruhi pergaulan anak-anak di sana meski tidak menampik bahwa peranan orang tua juga sangat penting. Perilaku agresi verbal dan non-verbal bahkan dapat ditemukan di sudut lorong Kampung Pingit. 
            Saat evaluasi Senin, 25 September 2011 lalu, saya menangkap beberapa inti dari permasalahan. Nah, di sini saya mencoba menjabarkannya dengan disertai beberapa teori dari tokoh ahli.
            Ini tentang anak-anak yang suka mengganggu. Hal itu kemungkinan merupakan bentuk dari pencarian perhatian di mana mereka kurang mengalaminya di lingkup keluarga. Berikan saja perhatian kepada mereka dengan catatan kita memang benar-benar peduli kepada mereka. Bila sekedar manis di mulut, saya rasa anak-anak pun akan menyadarinya. Buktikanlah keaslian (genuine) diri kita yang menunjukkan bahwa kita benar-benar membuka diri dan peduli kepada mereka. 
            Apabila ada anak yang benar-benar mengganggu dan sering melontarkan kata-kata kasar kepada kita, tidak usahlah kita memberi mereka hukuman (punishment). Apapun bentuknya. Cubitan, pukulan, ataupun perbuatan yang dimaksudkan untuk membuat anak menjadi kapok (corporal punishment) tidak efektif dalam mengatasi perilaku anak (Psychology Bulletin, 2002).
            Teknik induktif merupakan metode yang paling efektif, yaitu mendemonstrasikan konsekuensi logis dari setiap tindakan, menjelaskan, mendiskusikan, dan mendapatkan pemikiran dari anak mengenai keadilan bagi mereka (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Bagi Skinner, hukuman tidak efektif maka ia mencetuskan alternatif penggunaan hukuman. Alternatif itu berupa mengubah lingkungan atau situasi yang menyebabkan munculnya perilaku yang tidak diinginkan, mengajak anak untuk melakukan respon yang tidak diinginkan, menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan dengan menunggu atau seiring pertumbuhan dan mengabaikan perilaku yang tidak diinginkan (Hergenhahn & Olson, 1997). 
Mungkin mengubah lingkungan tersebut agak sulit namun kedua alternatif lainnya bisa kita gunakan dalam praktek. Kita dapat membuat anak mengerjakan sesuatu yang sebenarnya ia tidak suka. Belajar, misalnya. Kita juga dapat mengatasi perilaku mengganggu berlebihan yang anak lakukan dengan pengabaian.

            Menurut Tolman, pelenyapan laten (latent extinction) adalah pelenyapan tujuan pada organisme yang sebelumnya telah belajar untuk mencapai tujuan tersebut (Hergenhahn & Olson, 1997). Anak yang mempunyai ekspektasi tentang suatu tujuan (kita menjadi marah karena ejekan mereka) akan berhenti melakukan respon jika ekspektasi tujuan tersebut sudah tidak ada lagi (kita abaikan). Sekedar info, hal ini sudah saya lakukan kepada Astuti. Berbulan-bulan ia mengatakan bahwa saya ini “Mbak e sing nyebai”. Itu terjadi karena ia tidak berhasil mengerjai saya. Berbulan-bulan itu juga saya tetap memberikan senyuman dan perhatian kepadanya. Saat ia mulai mengejek, saya abaikan saja. Seolah saya tidak terganggu oleh hal itu. Ia tetap saya berikan senyuman ketika mulai mengejek. Toh, lambat laun sikapnya berubah. Puncaknya, ia tiba-tiba memeluk saya. Siapa yang tidak senang? Bersabar saja, intinya.
            Setiap anak berhak mendapat perlakuan sama. Entah yang perlu perhatian khusus ataupun tidak. Anak yang butuh perlakuan khusus karena sulit diatur saat di kelas itu perlu. Saat anak yang sulit itu kemudian menjadi patuh, berikan penghargaan (reward) dalam bentuk sederhana. Berikan saja pujian, senyuman (tanda kehangatan), ataupun tepuk tangan. Lalu, bagaimana anak yang sudah baik perilakunya? Kita tetap mendorong mereka untuk maju. Anak ini pun tetap kita berikan penghargaan jika mereka dapat melakukan tindakan yang kita harapkan demi perkembangan mereka. Sekali lagi, setiap anak berhak mendapatkan perlakuan yang sama. 
            Yah, sekian kiranya rangkuman dari hasil evaluasi kita di hari Senin lalu. Hal itu mengusik saya untuk mengobrak-abrik kembali berkas kuliah dan menuliskannya di sini. Semoga berkenan.
Di sini, kita saling berkembang ke arah yang baik.
Biarkanlah hanya senyum dan kebanggaan kita yang tertinggal di sini.
Salam, Pingiters.


Rabu, 21 September 2011

ADIK DAN GURU ERA SEKARANG


Sungguh tak terbayangkan ketika mama menelpon dan berkata, "Adikmu lagi.."

Sungguh aku heran. Sebenarnya siapa yang salah? Asuhan, pribadinya atau lingkungan?
Salah atau tidak memang begitu kenyataannya. Ketiga faktor ini menyokong bagian yang menghasilkan adikku sekarang.

Sebenarnya, saya sendiri sebagai kakak percaya dia tidak sebegitu parahnya seperti yang guru-guru itu katakan. Wajar jika adik saya berkelakuan yang tidak teratur. Wajar bagi setiap anak remaja. Itu adalah tahapan yang sedang mereka lalui. Pencarian jati diri. Mereka mencoba segala sesuatu hingga menemukan apa yang dirasa sebagai pribadi utuhnya. Tingkah laku adik laki-laki saya mungkin agak keterlaluan karena lingkungan sebaya tempat dia bergaul kurang baik menurut keluarga hingga kekenduran pengasuhan di waktu dulu (karena pengawasan sejak dia smp hingga sekarang menurut saya sudah cukup). Hal ini terjadi mungkin saja karena sikapnya yang tidak bisa menolak segala tawaran. Pada akhirnya ia menerima apa saja, baik ataupun buruk.

Lebih dari masalah itu, dia hanya merasa nyaman jika berada di rumah. Keluarga tetap mempercayai dia meski guru-guru terlanjur mempunyai pandangan negatif tentangnya. Saya membela dia karena saya merasa dia tidak diperlakukan pantas sebagai murid. Dia bahkan tidak mempunyai hak pembelaan diri. Mungkin ia terlibat, tetap saja ia mempunyai hak untuk membela diri. Di saat ia tidak terlibat, seakan para gurunya menutup semua matanya. Mereka tetap saja menganggap adik seorang anak bengal.

Hei, lihatlah sekeliling. Anak-anak usia remaja memang sedang aneh-anehnya. Ketika mereka salah, tegurlah mereka baik-baik. Berikan nasehat dan contoh perilaku yang menurut kalian baik. Anda sama sekali tidak pantas mencaci maki seorang murid selama berjam-jam di hadapan banyak murid di kelas.

Guru itu panutan. Guru itu model. Murid sangat memperhatikan gurunya. Murid meniru gurunya. Jika anda berani mencaci anak murid yang mungkin tidak tahu permasalahannya serta tidak dapat membela dirinya karena merasa tertekan karena anda, jangan heran jika nantinya akan ada murid yang berani mencaci anda bahkan di depan publik sekalipun.

Sekali lagi saya tekankan, guru itu panutan. Guru itu bagai orang tua dalam setting sekolah.

Guru kencing berdiri, murid kencing berlari!

Selasa, 13 September 2011

Hidupmu Hidupku

Ketika seorang teman mengalami hal yang tak pernah diduga, sangkaan pun tak pernah terpikirkan. Entah itu musibah atau anugerah. Perih juga saat membayangkannya memikirkan masalah itu. Seolah semua rasanya juga menjadi larut olehku. Kita teman, ingat itu. Mengingat semuanya, lalu,  bagaimana penyelesaiannya?

Masalahnya, memang. Namun, dia teman. Entah apa yang terlintas di pikirannya sehingga hal itu pada akhirnya ia alami juga. Sayang sudah terjadi. Lakunya memang menyebabkan semua terjadi. Biarlah berlalu. Saya, temanmu, ada saat kamu dalam kondisi apapun. Ayo tertawa bersama, menelan sedih bersama. Meski sisi hidupmu yang satunya lagi aku tidak tahu, tak apa. 

Ayo, angkat beban bersama. Hilangkan saja duka lara itu. Saya ada di samping kamu. Kita teman. Selalu ada saja jalan untuk meraih bahagia. Tunggu saja sampai itu datang menghampirimu, wahai sobatku.

Saya akui itu..

Saya akhir-akhir ini merasa bodoh. Kosong. Entah mengapa saya malas sekali belajar. Boro-boro belajar, membaca saja saya malas. Haduh. Padahal saat-saat ini sangat dibutuhkan kematangan teori. Sungguh sebal memikirnya. Terkadang menghindar saya lakukan pertanda bahwa saya cemas. Kecemasan seperti ini tidak boleh saya biarkan terus-menerus. Bisa fatal akibatnya. 

Saya bisa apa kalau saya tidak berusaha maju. Tidak ingin saya berhenti di sini atau terkungkung dalam kerangkeng keputusasaan seperti ini. Huft. Saya harus memperbaiki diri. Percuma saja bila saya menyadari segala kekurangan namun tidak memperbaiknya. Mulai dari membaca kembali buku-buku kuliah ini akan saya lakukan perlahan-lahan agar saya tidak ketinggalan.

Bukan itu saja yang membuat saya gundah. Namun, rasa ini menjadi berlipat ganda menjadi semakin terdesak kedudukannya. Mungkin ia butuh tempat yang cukup luas. Namun, apakah tempat yang luas itu menjamin kegundahan dan kecemasan saya lenyap? Tentu tidak. Saya butuh penyelesaian. Saya butuh kepastian agar tidak terombang-ambing seperti ini dengan rasa tidak nyaman merajalela hingga mengganggu hari-hari saya. 

Rasa ini memang menyenangkan jika tidak terlalu lama. Saya kira saya benar-benar butuh rekonstruksi dalam diri agar saya pun menjadi jelas pada diri sendiri sehingga saya dapat melakukan dengan rapi pada tujuan-tujuan yang telah saya rencanakan. 

Rasa ini semakin mencampur aduk tatkala pelangi hadir di saat mendung. Ada keceriaan di saat suram juga. Ah, entahlah. Saya hanya tahu bahwa saya butuh kepastian agar semuanya tidak berlangsung begitu lama.


Gundah di hari ini menerbitkan asa agar mendung itu berakhir
tergantikan oleh cahaya mentari yang menghasilkan pelangi.