Halaman

Rabu, 15 Februari 2012

MEMBERI

Memberi itu mudah. Lantas, mengapa saya terganggu? Begini, lho, saudara/i. Saya memberi dengan tulus namun bagaimana jadinya jika si penerima tidak menganggap itu tulus serta menaruh curiga? Saya  tidak dipercaya setelah banyak usaha yang saya lakukan untuk melindunginya. Saya ke-ce-wa.


Dia menyalahgunakan pemberian saya. Dia begitu saja membentak saya dengan segala tuduhan. Dia begitu kepada saya, sedangkan kepada lainnya, tidak. Saya ben-ci itu.


Dia berkata-kata, saya diam. Dia kalut, saya berusaha tenang. Diam diam, lalu saya bicara. "Saya tersinggung". Dia berkata, "Maaf." Namun, entahlah. Sekedar maaf atau dia sudah memahami sepenuhnya bahwa saya pun menanggung resiko yang cukup besar untuk berada di lingkupnya. 


Saya harap, dia atau siapapun itu dapat menghargai lebih dari apapun untuk setiap pemberian yang datang kepadanya. Pemberian itu tidak datang dua kali untuk satu kesempatan yang sama. 


Apa saya bodoh, jika berulang kali merasa bahwa memberi itu selayaknya dilakukan meski akan terasa luka nantinya? Apa saya bodoh, jika saya terus memberi bagi mereka yang pada akhirnya mempertanyakan dan membuang pemberian itu?


***


Saya terus bertanya untuk hal ini. Sampai saat ini pun, saya masih memahami bahwa memberi tidak perlu memikirkan bagaimana akhirnya. Jika saya memberi untuk alasan yang tepat dan baik, maka saya akan terus memberi meski si penerima bukan tipe penerima yang baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar