Halaman

Senin, 30 Juli 2012

KEJUTAN!



Belum pernah terbersit di pikiran bahwa saya akan mengalami suatu kisah yang sedih. Sebelum ini saya berpikir bahwa hidup saya datar saja, tidak ada yang begitu ekstrim. Malah, keseluruhan dapat dikatakan hidup yang menyenangkan. Namun, ketika kejadian yang mengejutkan itu datang, saya tidak siap. Saya belum siap. Siapapun tidak akan bisa menyiapkan diri dengan sepantasnya jika mendengar berita yang mengejutkan perihal kematian. Kematian orangtua. Ayah saya.

Sebaris kalimat yang tidak sampai seratus enam puluh karakter itu saya tulis di twitter. “…” Saya tidak menyangka bahwa kalimat itu pada akhirnya saya tujukan untuk bapak. Pukul 23.45 kakak saya menelepon katanya bapak pingsan. Saya mulai berpikiran yang tidak-tidak. Ini parah, apakah kemungkinannya kematian. Saya bersikeras membuang pikiran buruk itu jauh-jauh. Saya hanya berbisik kepada Tuhan, “Tuhan berikanlah yang terbaik untuk bapak. Apapun itu.”

Sekejap dering handphone saya berbunyi. Itu telepon dari kakak saya. “Ca, papa udah nggak ada.” Saya bingung dengan meaksudnya dan sebagian lagi saya sengaja menghindari omongannya. “Ca, papa meninggal.”

Saya hanya bisa menjeritkan kata ’bapak’ yang tercekat di tenggorokan. Kos saya sepi, bahkan ketika saya menjerit kos tetap sepi. Dingin. Sepi, tanpa bapak.

Saat itu saya mencoba berbagai cara agar saya tenang namun cara itu ternyata salah. Saya menekan dan menghindari segala perasaan sedih saya. Mungkin orang-orang melihat saya tetap tersenyum. Saat itu saya memang tersenyum karena saya memendam perasaan sedih begitu dalam di dalam sana. Terkadang sedih itu muncul ke permukaan tapi saya terang-terangan menghalau itu. Saya tidak mau menampakkan wajah sedih saya di depan mama, mbak, dan adik. Terlebih kepada bapak.
Saya mau bapak tenang di alam sana bahwa saya sudah menerima kematiannya. Saya berkoar-koar kepada banyak orang bahwa saya telah menerima kematian sebagai hal yang wajar. Itu siklus kehidupan sama seperti kelahiran. Tapi, itu hanya konsep saya tentang kematian yang sesungguhnya. Namun, saya tidak pernah tahu bahwa konsep itu hanyalah permainan logika yang  mengabaikan perasaan.

Saya datang dan melihat bapak terbaring kaku di dalam peti, sungguh saat yang tidak menyenangkan. Saya tidak bisa bermain silat-silatan dengannya dengan pose berdiri lagi. Dia pucat dan kaku. Bapak tersenyum saat saya melihatnya. Entah itu ilusi atau bukan namun bulek saya terkejut dan menyatakan bahwa bapak benar-benar tersenyum karena sebelumnya wajahnya tidak seperti itu. Saya senang kalau bapak bahagia. Saya menoel-noel tangannya terbungkus sarung tanan halus putih, saya cute (cubit tete) bapak, saya lihat kembali dia. Dia masih tersenyum. Saya bahagia kalau bapak bahagia.

Saya yakin bapak masuk surga, bapak lagi makan-makan enak dengan orang kudus di sana karena bapak orang baik. Bapak tidak pernah mengungkit kesalahan orang, bapak tetap menolong orang meski keluarga sedang kelsulitan bahkan ketika keluarga menekan perbuatan bapak itu.

Banyak orang menangisi kepergian bapak. Rumah ramai saat itu, pak. Bapak disayangi banyak orang. Bahkan opung tetangga sebelah pernah bilang kalau dia nggak sanggup hidup kalau bapak nggak ada. Bahkan opung lebih sedih jika ditinggal bapak dibandingkan ditinggal anaknya. Bapak, banyak orang menyayangi bapak sehingga apapun yang terjadi banyak orang yang bersedia membantu meski tidak ada ikatan darah sekalipun. Mereka masih setia datang menyambangi rumah hanya untuk mengetahui keadaan keluarga. Beberapa minggu setelah kehilangan bapak, mereka masih tampak sedih.

Bapak, kemarin sepertinya mama agak sebal dengan aku karena aku tidak tampak sedih dengan kepergianmu. Mama dan aku kurang berkomunikasi. Komunikasi itu berjalan baik kembali setelah saya memeriksakan diri ke dokter. Saya merasa jantung saya degupnya tidak beres selama lima hari ini. Saya takut ada apa-apa. Dokter mengatakan saya tidak sakit apa-apa. Jantung saya baik keadaannya. Mungkin stress?

Saat itu saya baru sadar bahwa saya memang stress. Kepergian bapak, skripsi yang sebulan ditinggalkan, komunikasi tidak baik dengan mama dan ada beberapa hal yang masuk teritori rahasia. Saya sampai diberi obat penenang. Saat itu saya berusaha mengeluarkan segala perasaan sedih saya. Maka, saya mengungkapkannya di sini.

Saya sudah dapat meraba perasaan dan mengeluarkannya di saat yang tepat. Tetap control, biar ga lebai.
Bapak, aku kangen. Tiap mengepel rumah, saya seperti merasakan bapak ada di sudut-sudut rumah. Di sudut ruang obat, di kamar, di depan jendela, di mana-mana. Saya kangen bercanda dengan bapak. Kangen nyute-nyute, kangen bikinin pantun, kangen..kangen semuanya. Ada yang hilang tanpa bapak. Dulu aku pergi kuliah di Jogja, bapak yang menangis sambil memberesi barang-barangku di kamar, kata mama. Sekarang aku yang menangisi bapak.

Tiap ada kejadian, saya berharap masih ada bapak yang memberi tahu penyelesaiannya biarpun itu hal sepele. Pernah waktu itu Mama bertanya tentang nomor telepon yang ada di ponsel bapak, lalu dengan entengnya saya menjawab, “Tanya aja sama bapak.” Kami diam, saya lupa.

Apakah lupa termasuk dalam criteria menekan perasaan dan belum menerima? Mungkin, saya butuh beradaptasi karena tidak secepat satu bulan dapat melupakan bahwa bapak telah meninggal.
Apapunlah akan saya lakukan untuk menjaga keutuhan keluarga. Saya akan menjaga mama, Yopi, dan Andre. Sindrom superhero masih aja ada. Semoga saya tidak mematok tinggi pada ekspektasi saya ini.
Apapun yang terjadi dan bagaimana hal itu dapat terjadi, sebisa mungkin saya tetap mendekati sehat. Meski belum sehat, saya akan berusaha mencapai itu. Sehat mental, sehat fisik. Mental terganggu, turun 2 kilo.

Pengalamanan hidup ini akan aku bawa di setiap sisi kehidupan, pak. Selamat jalan bapak. Semoga aku semakin dewasa dan menjalankan hidup seperti yang bapak inginkan. Tuhan besertamu selalu, Bapakku.