Belum pernah terbersit di pikiran bahwa saya akan mengalami
suatu kisah yang sedih. Sebelum ini saya berpikir bahwa hidup saya datar saja,
tidak ada yang begitu ekstrim. Malah, keseluruhan dapat dikatakan hidup yang
menyenangkan. Namun, ketika kejadian yang mengejutkan itu datang, saya tidak
siap. Saya belum siap. Siapapun tidak akan bisa menyiapkan diri dengan
sepantasnya jika mendengar berita yang mengejutkan perihal kematian. Kematian
orangtua. Ayah saya.
Sebaris kalimat yang tidak sampai seratus enam puluh
karakter itu saya tulis di twitter. “…” Saya tidak menyangka bahwa kalimat itu
pada akhirnya saya tujukan untuk bapak. Pukul 23.45 kakak saya menelepon
katanya bapak pingsan. Saya mulai berpikiran yang tidak-tidak. Ini parah,
apakah kemungkinannya kematian. Saya bersikeras membuang pikiran buruk itu
jauh-jauh. Saya hanya berbisik kepada Tuhan, “Tuhan berikanlah yang terbaik
untuk bapak. Apapun itu.”
Sekejap dering handphone saya berbunyi. Itu telepon dari
kakak saya. “Ca, papa udah nggak ada.” Saya bingung dengan meaksudnya dan
sebagian lagi saya sengaja menghindari omongannya. “Ca, papa meninggal.”
Saya hanya bisa menjeritkan kata ’bapak’ yang tercekat di
tenggorokan. Kos saya sepi, bahkan ketika saya menjerit kos tetap sepi. Dingin.
Sepi, tanpa bapak.
Saat itu saya mencoba berbagai cara agar saya tenang namun
cara itu ternyata salah. Saya menekan dan menghindari segala perasaan sedih
saya. Mungkin orang-orang melihat saya tetap tersenyum. Saat itu saya memang
tersenyum karena saya memendam perasaan sedih begitu dalam di dalam sana. Terkadang
sedih itu muncul ke permukaan tapi saya terang-terangan menghalau itu. Saya
tidak mau menampakkan wajah sedih saya di depan mama, mbak, dan adik. Terlebih
kepada bapak.
Saya mau bapak tenang di alam sana bahwa saya sudah menerima
kematiannya. Saya berkoar-koar kepada banyak orang bahwa saya telah menerima
kematian sebagai hal yang wajar. Itu siklus kehidupan sama seperti kelahiran.
Tapi, itu hanya konsep saya tentang kematian yang sesungguhnya. Namun, saya
tidak pernah tahu bahwa konsep itu hanyalah permainan logika yang mengabaikan perasaan.
Saya datang dan melihat bapak terbaring kaku di dalam peti,
sungguh saat yang tidak menyenangkan. Saya tidak bisa bermain silat-silatan
dengannya dengan pose berdiri lagi. Dia pucat dan kaku. Bapak tersenyum saat
saya melihatnya. Entah itu ilusi atau bukan namun bulek saya terkejut dan
menyatakan bahwa bapak benar-benar tersenyum karena sebelumnya wajahnya tidak
seperti itu. Saya senang kalau bapak bahagia. Saya menoel-noel tangannya
terbungkus sarung tanan halus putih, saya cute (cubit tete) bapak, saya lihat
kembali dia. Dia masih tersenyum. Saya bahagia kalau bapak bahagia.
Saya yakin bapak masuk surga, bapak lagi makan-makan enak
dengan orang kudus di sana karena bapak orang baik. Bapak tidak pernah
mengungkit kesalahan orang, bapak tetap menolong orang meski keluarga sedang
kelsulitan bahkan ketika keluarga menekan perbuatan bapak itu.
Banyak orang menangisi kepergian bapak. Rumah ramai saat
itu, pak. Bapak disayangi banyak orang. Bahkan opung tetangga sebelah pernah
bilang kalau dia nggak sanggup hidup kalau bapak nggak ada. Bahkan opung lebih
sedih jika ditinggal bapak dibandingkan ditinggal anaknya. Bapak, banyak orang
menyayangi bapak sehingga apapun yang terjadi banyak orang yang bersedia
membantu meski tidak ada ikatan darah sekalipun. Mereka masih setia datang
menyambangi rumah hanya untuk mengetahui keadaan keluarga. Beberapa minggu
setelah kehilangan bapak, mereka masih tampak sedih.
Bapak, kemarin sepertinya mama agak sebal dengan aku karena
aku tidak tampak sedih dengan kepergianmu. Mama dan aku kurang berkomunikasi.
Komunikasi itu berjalan baik kembali setelah saya memeriksakan diri ke dokter.
Saya merasa jantung saya degupnya tidak beres selama lima hari ini. Saya takut
ada apa-apa. Dokter mengatakan saya tidak sakit apa-apa. Jantung saya baik
keadaannya. Mungkin stress?
Saat itu saya baru sadar bahwa saya memang stress. Kepergian
bapak, skripsi yang sebulan ditinggalkan, komunikasi tidak baik dengan mama dan
ada beberapa hal yang masuk teritori rahasia. Saya sampai diberi obat penenang.
Saat itu saya berusaha mengeluarkan segala perasaan sedih saya. Maka, saya
mengungkapkannya di sini.
Saya sudah dapat meraba perasaan dan mengeluarkannya di saat
yang tepat. Tetap control, biar ga lebai.
Bapak, aku kangen. Tiap mengepel rumah, saya seperti
merasakan bapak ada di sudut-sudut rumah. Di sudut ruang obat, di kamar, di
depan jendela, di mana-mana. Saya kangen bercanda dengan bapak. Kangen
nyute-nyute, kangen bikinin pantun, kangen..kangen semuanya. Ada yang hilang
tanpa bapak. Dulu aku pergi kuliah di Jogja, bapak yang menangis sambil
memberesi barang-barangku di kamar, kata mama. Sekarang aku yang menangisi
bapak.
Tiap ada kejadian, saya berharap masih ada bapak yang memberi
tahu penyelesaiannya biarpun itu hal sepele. Pernah waktu itu Mama bertanya
tentang nomor telepon yang ada di ponsel bapak, lalu dengan entengnya saya
menjawab, “Tanya aja sama bapak.” Kami diam, saya lupa.
Apakah lupa termasuk dalam criteria menekan perasaan dan
belum menerima? Mungkin, saya butuh beradaptasi karena tidak secepat satu bulan
dapat melupakan bahwa bapak telah meninggal.
Apapunlah akan saya lakukan untuk menjaga keutuhan keluarga.
Saya akan menjaga mama, Yopi, dan Andre. Sindrom superhero masih aja ada.
Semoga saya tidak mematok tinggi pada ekspektasi saya ini.
Apapun yang terjadi dan bagaimana hal itu dapat terjadi,
sebisa mungkin saya tetap mendekati sehat. Meski belum sehat, saya akan
berusaha mencapai itu. Sehat mental, sehat fisik. Mental terganggu, turun 2 kilo.
Pengalamanan hidup ini akan aku bawa di setiap sisi
kehidupan, pak. Selamat jalan bapak. Semoga aku semakin dewasa dan menjalankan
hidup seperti yang bapak inginkan. Tuhan besertamu selalu, Bapakku.